Warga kota sedari tadi berkumpul di bangker
bawah tanah yang dibangun memang untuk menghadapi amukan Katerina. Mereka semua
tersedu sedan menyaksikan kehancuran yang dibuat oleh tangannya. Puluhan mata
menatapnya dari bingkai jendela ruang bagian atas. Ternga-nga. Terisak.
Kecemasan dan kesedihan memenuhi ruang bagian bawah. Mencari-cari sanak famili
yang terpisah. Memastikan mereka ada di ruang itu. Atau mendekati telepon yang
menghubungkan antarbangker. Berharap saudara, suami, istri, orangtua, anak,
sahabat, atau orang yang mereka sayang ada di seberang sana.
Di luar sana awan hitam menyelimuti
seluruh langit. Gemuruh menguasai bumi. Angin menerbangkan apa saja yang
disentuhnya. Petir menyambar-nyambar. Tak ada keceriaan. Kesunyian mencengkam.
Burung gagak hitam memekik. Berhamburan, melayang mencari tempat berlindung.
Jalan yang biasa dilalui orang-orang, sekarang seperti kuburan. Tak satu orang
pun, tak satu makhluk pun yang tampak. Bau bunga taman berubah menjadi bau
kematian, kehancuran. Seketika kota ini menjadi kota mati tak bertuan.
Aku masih berdiri kaku, terperanga
menyaksikan dahsyatnya kuasa Tuhan. Aku membayangkan, aku menjadi sebutir debu
yang dipontang-panting, dicampak sana sini, jika aku ada di luar sana.
Belum sadar aku akan orang-orang di
sekitarku, ketika sesorang memanggil namanya.
“Alan... Di mana...?”
Suara yang aku kenal dan nama yang
kukenal betul. Aku melihat sekelilingku. Mencari sumber suara. Suara itu dan
nama itu membuatku melupakan orang sekitar. Tak peduli tubuhku ditabrak ,
disenggol, disikut oleh orang lain. Aku hanya terfokus pada satu suara dan nama
itu. Waktu beranjak amat lambat. Aku seolah berada di dunia Mattrix, slow motion. Aku menuruni tangga. Pelan.
Kulirikan mataku ke arah sumber suara tadi. Aku melihat Lian– mahasiswi
terkenal di kampusku yang menyebut nama yang kukenal betul, Alan, temanku– ya, hanya
temanku.
Aku baru sadar, kejadian beberapa
menit sebelum tragedi dahsyat ini. Di depanku Alan pergi meningglkan tempat ini
membawa kamera yang selalu menemaninya, mendekati badai itu.
“Alan...,” aku terpaku. Membatu. Aku
terkulai lemah. Kudekap kedua lututku. Menumpahkan kesedihanku sejadi-jadinya.
Tak ada. Tak ada yang bisa selamat dari amukan badai itu.
“Alaaaaaaaan...,” kuteriakan namanya.
Tak ada, tak ada yang memerhatikanku tak ada yang mendengarku karena mulutku
teramat kelu untuk digerakkan.
Hatiku hancur seperti keadaan di luar
sana. Luluh lantak, berserakan. Penuh puing dan tak bernyawa. Walau badai telah
berhenti. Badai kesedihan menerpa dalam hatiku. Tak tertanggungkan.
Pintu ruang telah terbuka. Orang-orang
di dalam berhamburan ke luar untuk menemui sanak saudara di bangker lain untuk pergi jauh dari kota
yang telah hancur ini. Perlahan ruang itu mulai sepi satu-satu. Aku merasa
sendiri dalam kesedihanku.
Derap
langkah tegas dan tergesa menghampiriku. Aku merasakan hangat didekapnya. Aku
bangkit dan berbalik.
“Alan, Alan... Kau kah ini?” kugenggam
erat tangannya. Mataku berkaca-kaca. Ia masih terpaku. Aku tak pecaya Alan selamat.
Alan kembali.
“Lian, kau tidak apa-apa?”
Kenapa?
Kenapa dia menyebut namanya? Alan tak
mendengarku. Tak melihatku dan tak memperdulikan aku. Aku diacuhnya,
diabaikannya. Ternyata bukan aku yang didekapnya. Selangkah selangkah
kugerakan kakiku menjauh. Kutatap mereka dengan nanar. Mereka terlihat begitu
bahagia. Alan kembali bukan untukku...
Belum jauh kumelangkah, kakiku menyentuh
sebujur kaku tubuh seorang wanita mengenakan baju ungu muda bercampur putih
yang telah bersimbah darah, sama seperti yang kukenakkan.
“Tadi dia tergesa-gesa menuruni tangga,”
“Sayang wanita ini meninggal dalam usia
muda,”
Kaca-kaca di mataku pecah menjadi
kesedihan yang nyata. Kupandang Alan sekali lagi. Senyuman itu akan kuingat
selalu walau bukan untukku. Cinta ini akan ada walau di ujung nyawa. Walau aku
menghilang ke surga.
*Sekian*