Selasa, Juli 10

Di Ujung Nyawa




Warga kota sedari tadi berkumpul di bangker bawah tanah yang dibangun memang untuk menghadapi amukan Katerina. Mereka semua tersedu sedan menyaksikan kehancuran yang dibuat oleh tangannya. Puluhan mata menatapnya dari bingkai jendela ruang bagian atas. Ternga-nga. Terisak. Kecemasan dan kesedihan memenuhi ruang bagian bawah. Mencari-cari sanak famili yang terpisah. Memastikan mereka ada di ruang itu. Atau mendekati telepon yang menghubungkan antarbangker. Berharap saudara, suami, istri, orangtua, anak, sahabat, atau orang yang mereka sayang ada di seberang sana.
Di luar sana awan hitam menyelimuti seluruh langit. Gemuruh menguasai bumi. Angin menerbangkan apa saja yang disentuhnya. Petir menyambar-nyambar. Tak ada keceriaan. Kesunyian mencengkam. Burung gagak hitam memekik. Berhamburan, melayang mencari tempat berlindung. Jalan yang biasa dilalui orang-orang, sekarang seperti kuburan. Tak satu orang pun, tak satu makhluk pun yang tampak. Bau bunga taman berubah menjadi bau kematian, kehancuran. Seketika kota ini menjadi kota mati tak bertuan.
Aku masih berdiri kaku, terperanga menyaksikan dahsyatnya kuasa Tuhan. Aku membayangkan, aku menjadi sebutir debu yang dipontang-panting, dicampak sana sini, jika aku ada di luar sana.
Belum sadar aku akan orang-orang di sekitarku, ketika sesorang memanggil namanya.
“Alan... Di mana...?”
Suara yang aku kenal dan nama yang kukenal betul. Aku melihat sekelilingku. Mencari sumber suara. Suara itu dan nama itu membuatku melupakan orang sekitar. Tak peduli tubuhku ditabrak , disenggol, disikut oleh orang lain. Aku hanya terfokus pada satu suara dan nama itu. Waktu beranjak amat lambat. Aku seolah berada di dunia Mattrix, slow motion. Aku menuruni tangga. Pelan. Kulirikan mataku ke arah sumber suara tadi. Aku melihat Lian– mahasiswi terkenal di kampusku yang menyebut nama yang kukenal betul, Alan, temanku– ya, hanya temanku.
Aku baru sadar, kejadian beberapa menit sebelum tragedi dahsyat ini. Di depanku Alan pergi meningglkan tempat ini membawa kamera yang selalu menemaninya, mendekati badai itu.
“Alan...,” aku terpaku. Membatu. Aku terkulai lemah. Kudekap kedua lututku. Menumpahkan kesedihanku sejadi-jadinya. Tak ada. Tak ada yang bisa selamat dari amukan badai itu.
“Alaaaaaaaan...,” kuteriakan namanya. Tak ada, tak ada yang memerhatikanku tak ada yang mendengarku karena mulutku teramat kelu untuk digerakkan.
Hatiku hancur seperti keadaan di luar sana. Luluh lantak, berserakan. Penuh puing dan tak bernyawa. Walau badai telah berhenti. Badai kesedihan menerpa dalam hatiku. Tak tertanggungkan.
Pintu ruang telah terbuka. Orang-orang di dalam berhamburan ke luar untuk menemui sanak saudara  di bangker lain untuk pergi jauh dari kota yang telah hancur ini. Perlahan ruang itu mulai sepi satu-satu. Aku merasa sendiri dalam kesedihanku.
 Derap langkah tegas dan tergesa menghampiriku. Aku merasakan hangat didekapnya. Aku bangkit dan berbalik.
“Alan, Alan... Kau kah ini?” kugenggam erat tangannya. Mataku berkaca-kaca. Ia masih terpaku. Aku tak pecaya Alan selamat. Alan kembali.
“Lian, kau tidak apa-apa?”
Kenapa? Kenapa dia menyebut namanya? Alan tak mendengarku. Tak melihatku dan tak memperdulikan aku. Aku diacuhnya, diabaikannya. Ternyata bukan aku yang didekapnya. Selangkah selangkah kugerakan kakiku menjauh. Kutatap mereka dengan nanar. Mereka terlihat begitu bahagia. Alan kembali bukan untukku...
Belum jauh kumelangkah, kakiku menyentuh sebujur kaku tubuh seorang wanita mengenakan baju ungu muda bercampur putih yang telah bersimbah darah, sama seperti yang kukenakkan.
“Tadi dia tergesa-gesa menuruni tangga,”
“Sayang wanita ini meninggal dalam usia muda,”
Kaca-kaca di mataku pecah menjadi kesedihan yang nyata. Kupandang Alan sekali lagi. Senyuman itu akan kuingat selalu walau bukan untukku. Cinta ini akan ada walau di ujung nyawa. Walau aku menghilang ke surga.

*Sekian*

Share this post
  • Share to Facebook
  • Share to Twitter
  • Share to Google+
  • Share to Stumble Upon
  • Share to Evernote
  • Share to Blogger
  • Share to Email
  • Share to Yahoo Messenger
  • More...