My Cats, Si Belang and Kuneng |
Aku menyaksikannya terbaring lemah tak berdaya. Darah terus mengucur dari kepala munggilnya. Nafasnya hanya satu satu. Tak ada harapan. Segera kuberanikan diri mendekat. Ku periksa Degup jantungnya. Tak Ada. Dia tak berdegup lagi. Mataku mulai panas. Pelan kuguncang badannya. Namun tak ada respon. Baru lima menit lalu kulihat ia tidur nyenyak bersama indung semang dan saudaranya. Kini ia benar-benar tidur nyenyak untuk selamanya. Tak pernah bangun lagi.
Pipiku mulai basah. Bibirku bergetar pelan. Terbata-bata aku meminta koran kepada adikku untuk alasi badannya. Kuangkat perlahan badannya yang tak bernyawa ke atas koran. Kututupi sebagian badannya. Kubiarkan wajahnya terbuka agar bisa kupandangi untuk terakhir kalinya. Segera aku bersihkan ceceran darah di lantai, sebisanya aku tahan tangisku. Aku tak pernah mengerti mengapa kucing jantan besar tega membunuh anaknya sendiri. Ia tega menggigit leher mungil kucingku.
Si belang mungkin telah menjadi tanahnya surga. Hanya Neng yang tersisa dari tiga saudaranya. Ia trauma dengan gerangan kucing jantan, karena ia lihat sendiri Belangnya digigit. Sebulan berlalu, ia sekarang tumbuh lincah dan lucu. Namun, sayang itu tak bertahan lama.
Waktu itu aku sedang tak di rumah. Aku dan adikku bermalam di rumah nenek. Siangnya, Farida mengirim SMS adikku. Dia bilang kucingku mau mati. Lehernya digorok. Mendengar itu aku shock. Aku coba tenangkan diri. Sorenya kami langsung pulang. Aku tak mendapati siapa pun di rumah. Tak juga kucingku.
Farida pulang. Ia ceritakan apa yang terjadi. Saat ia pulang, kemarin, ia dapati si Neng sudah berdarah-darah di dekat helmnya. Ia masih bernafas. 'Weuh hate' ia melihat kondisi Neng. Segera ia seka darahnya. Tapi, karena ia terburu-buru ia letak Neng beralas koran di beranda rumah. Saat ia pulang, Neng hilang.
Tiba-tiba Neng keluar dari kotak printer. Aku lihat lehernya luka menghitam. Aku tak dapat pastikan. Entah itu darah yang mengering atau urat lehernya yang menjulur. Neng kelihatan sekarat. Mataku basah.
"Kayaknya, Kak, Abang belakang yang buat," Furqan menunjuk kedai belakang rumahku. Katanya, Neng mengacak-ngacak jualannya.
"Namanya juga binatang, " kakaku mendekat dan memelukku. Tangisku pecah. "Kok tega orang itu buat kaya gini,". Aku bawa Neng ke dapur. Aku beri air. Dan ia minum lagi-lagi dan lagi.
Aku menagis lagi saat ia mengeong. Erangannya menahan sakit, membuat dadaku sesak. Sebisanya aku rawat ia. Aku beri anti septic. Aku seka mulutnya.
"Ya Allah jika kau ijinkan beri ia kesempatan hidup, "
Allah berkata lain, dua hari kemudian ia menyusul Belangnya ke surga. Neng telah tiada. Mereka akan jadi tanahnya surga.
#RIPMyCats
Pipiku mulai basah. Bibirku bergetar pelan. Terbata-bata aku meminta koran kepada adikku untuk alasi badannya. Kuangkat perlahan badannya yang tak bernyawa ke atas koran. Kututupi sebagian badannya. Kubiarkan wajahnya terbuka agar bisa kupandangi untuk terakhir kalinya. Segera aku bersihkan ceceran darah di lantai, sebisanya aku tahan tangisku. Aku tak pernah mengerti mengapa kucing jantan besar tega membunuh anaknya sendiri. Ia tega menggigit leher mungil kucingku.
Si belang mungkin telah menjadi tanahnya surga. Hanya Neng yang tersisa dari tiga saudaranya. Ia trauma dengan gerangan kucing jantan, karena ia lihat sendiri Belangnya digigit. Sebulan berlalu, ia sekarang tumbuh lincah dan lucu. Namun, sayang itu tak bertahan lama.
Waktu itu aku sedang tak di rumah. Aku dan adikku bermalam di rumah nenek. Siangnya, Farida mengirim SMS adikku. Dia bilang kucingku mau mati. Lehernya digorok. Mendengar itu aku shock. Aku coba tenangkan diri. Sorenya kami langsung pulang. Aku tak mendapati siapa pun di rumah. Tak juga kucingku.
Farida pulang. Ia ceritakan apa yang terjadi. Saat ia pulang, kemarin, ia dapati si Neng sudah berdarah-darah di dekat helmnya. Ia masih bernafas. 'Weuh hate' ia melihat kondisi Neng. Segera ia seka darahnya. Tapi, karena ia terburu-buru ia letak Neng beralas koran di beranda rumah. Saat ia pulang, Neng hilang.
Tiba-tiba Neng keluar dari kotak printer. Aku lihat lehernya luka menghitam. Aku tak dapat pastikan. Entah itu darah yang mengering atau urat lehernya yang menjulur. Neng kelihatan sekarat. Mataku basah.
"Kayaknya, Kak, Abang belakang yang buat," Furqan menunjuk kedai belakang rumahku. Katanya, Neng mengacak-ngacak jualannya.
"Namanya juga binatang, " kakaku mendekat dan memelukku. Tangisku pecah. "Kok tega orang itu buat kaya gini,". Aku bawa Neng ke dapur. Aku beri air. Dan ia minum lagi-lagi dan lagi.
Aku menagis lagi saat ia mengeong. Erangannya menahan sakit, membuat dadaku sesak. Sebisanya aku rawat ia. Aku beri anti septic. Aku seka mulutnya.
"Ya Allah jika kau ijinkan beri ia kesempatan hidup, "
Allah berkata lain, dua hari kemudian ia menyusul Belangnya ke surga. Neng telah tiada. Mereka akan jadi tanahnya surga.
#RIPMyCats