[12/5/13]
Seperti biasanya, aku terbangun saat yang lain telah bangun. Masih sama seperti dua hari belakangan, bibir kuusahakan mengulum semanis jagung. Tapi, sama seperti hari sebelum dua hari belakangan itu, bibirku enggan terkulum. Dengan mata setengah terbuka kulangkahkan kakiku menuju sepetak kamar yang di penuhi alat mandi untuk mengambil wudhu.
Selesai shalat, aku sedikit hanturkan doa, agar diberi ketenangan hati. Dan BERHASIL.
Masalah-masalah yang membuat senyum dan semangatku memudar perlahan memudar dalam memoriku. Sejenak akupun lupa masalahku apa.
Hari terus kulalui dengan santai dan mengalir bak hujan di seberang gunung sana. Siang, kuisi dengan rapat seorang diri tanpa ditemani sejoli-sejak-lahirku. Sore, kuhabiskan waktu dengan adik laki-lakiku yang mengkhusukkan diri pada laptopku, sedang aku pada akriliku.
Senja mulai melongsor dan pelan-pelan pendar jingga pun memudar. Satu-satu anggota rumahku menampakkan batang hidungnya. Sejawatku pulang dari menyelesaikan masalah (baca: tugas) bersama teamworknya. Ini yang membuatku ingat "masalahku ternyata adalah tugas yang menumpuk seperti pakaian bajuku yang juga menumpuk. Menit-menit kemudian sejoli-sejak-lahirku pulang dengan wajah tertekuk. Aura 'Bad Day'nya menyebar memenuhi ruang 8*5 ini dan perlahan mulai menggerogoti semangatku. Lagi-lagi pertahananku goyah.
Malam pun tiba. Dengan kondisi di mana aku belum menyelesaikan tumpukkan masalahku, Aku beranjak mengantarkan amanah kakak tertuaku ke terminal Lueng Bata dengan adik laki-lakiku. Perlahan tapi pasti, akhirnya aku sampai di tempat tujuan. Setelah amanah kakak tertuaku tersampaikan, aku pun kembali ke rumah masih dengan adik laki-lakiku dengan wajahku tertekuk. Saat aku buka pintu rumah, sejoli-sejak-lahirku langsung menghampiriku dan memintaku untumk kembali keluar rumah untuk ngisi 'umpan jin' (baca: pulsa) modemnya. Aku menyuruhnya untuk mengambil uang dengan nada yang sedikit tak mengenakkan.
"Kenapa marah-marah gitu?" Ujarnya.
"Kakak juga ada tugas, ga adek aja yang ada" jawabku.
Langsung sejoli-sejak-lahirku mengambil alih apa yang sebelumnya ia suruh padaku. Aku tau ia mulai menagis tertahan. Dan aku tak bisa berbuat apa-apa karena egoku.
Sejak saat itu, aku dan sejoli-sejak-lahirku tak saling bicara karena egoku. Aku dan sejawatku-yang terus lancar menyelesaikan masalahnya- tak ada pembicaraan yang bermakna karena iriku.
Hingga akhirnya satu-satu dari kami terlelap. Dan aku masih berkutat dengan tulisan dan Rasa Bersalah pada diri sendiri, pada sejawatku, dan sejoli-sejak-lahirku.
"Maafin kaka ya..."
"Maafin saya ya..."
Bad day-ku ternyata berawal dari EGO DIRI dan IRI (bukan Kalian).